Ibu, puisi ini sengaja kutulis dalam kegelapan musim dan waktu,
hanya puisi murung tak berarti,
pastilah ibu mengetahui kebenarannya,
Dahulu aku mengira,
Ibu hanyalah perempuan lemah,
yang tak punya pendirian,
mengabdi pada suami bagaikan kuli,
Ibu rela bekerja keras di tengah hujan dan terik matahari,
acuhkan sakit, seorang diri,
serta tiada mendendam kepada siapa pun,
demi anak-anak ibu,
Setelah ayah pergi dengan malaikat itu,
Ibu menangis sepanjang hari,
Pertanyaan kanak-kanak yang marah,
selalu berakhir dengan pertanyaan lagi,
ketika ibu menyahut parau,Ibu mencintai ayahmu, nak.,
Aku segera berlari lalu membanting pintu,
Kini aku mengerti bahwa kesanggupan mencintai bukan hal biasa,
bahkan, seringkali mengejutkan orang lain,
Rasa cinta yang begitu besar pada seseorang,
kuwarisi dari Ibu,
Tapi, kepasrahannya tidak,
Perjuangan kami ini untuk menolak menjadi tunduk pada hidup,
bukan untuk memisahkan Ibu dari anaknya,
para suami dari istri mereka,
kakek atau nenek dari sang cucu,
ataupun seorang kakak dari adik-adiknya,
melainkan untuk menyatukan seluruh rasa kita,
dalam kedamaian,
yang tak pernah lagi kita miliki,
setelah puluhan tahun,
Maafkan anakmu,
bila perjuangan kami,
telah membuat ibu terpaksa menempuh hidup yang sunyi,
Bukankah dalam hati kecil Ibu,
selalu mendoakan kami,.